Jumat, 25 Juni 2010

pencemaran lingkungan


A. MASALAH HUBUNGAN DOSIS REAKSI DALAM GANGGUAN KESEHATAN OLEH PENCEMARAN LINGKUNGAN

Gangguan kesehatan dapat datang secara mendadak dan dapat datang secara perlahan. Pada proses perkembangan pencemaran lingkungan terjadinya gangguan kesehatan secara akut sudah banyak dihindari hingga sering tidak lagi dianggap akibat pencemaran lingkungan, namun lebih banyak dikaitkan dengan kecelakaan atau musibah. Pencemaran lingkungan lebih tepat jika dikaitkan dengan gangguan kesehatan yang bersifat kronis berjalan secara perlahan.

Terjadinya pencemaran lingkungan dapat diamati dari dua pendekatan, yakni pengamatan perubahan kualitas medium lingklungan dan pengamatan adanya dampak negatif yang dialami penduduk yang tinggal di suatu lingkungan. Perubahan kualitas medium lingkungan diukur dari kadar bahan pencemar yang ada di lingkungan tersebut dan dibandingkan dengan keadaan sebelumnya atau suatu acuan baku mutu lingkungan. Sedangkan dampak negatif dari pencemaran diukur dari luasnya gangguan kesehatan yang dirasakan penduduk yang dibandingkan dengan kondisi sebelumnya atau kondisi normal dari wilayah lainnya.

Penyimpangan kondisi wilayah kesehatan wilayah sekitarnya menjadi sangat penting karena hakekat pencemaran lingkungan adalah timbuilnya gangguan kesehatan yang dialami penduduk oleh adanya perubahan kualitas lingkungan. Baku mutu lingkungan umumnya dibuat untuk menjaga agar pada tingkat baku mutu itu penduduk masih belum mengalami gangguan kesehatan.

Pemeriksaan kesehatan penduduk dalam kaitannya dengan penyidikan adanya pencemaran lingkungan di suatu wilayah umumnya dilakukan dengan pendekatan epidemologi lingkungan, yakni penggabungan prinsip telitian epidemiologi dan ekologi. Adanya gangguan kesehatan oleh perubahan kualitas lingkungan dapat ditinjau dari dua arah yakni:

1. Timbulnya suatu gangguan kesehatan yang dirasakan penduduk di suatu wilayah kemudian dicari sumber penyebab lingkungannya; dan

2. Adanya perubahan kualitas lingkungan yang dirasakan di suatu daerah untuk diamati gangguan aspek kesehatan yang diakibatkannya.

Ganguan kesehatan oleh perubahan kualitas lingkungan dapat berupa gangguan spesifik dan gangguan non-spesifik. Gangguan kesehatan oleh pencemaran lingkungan umumnya bersifat non-spesifik karena proses gangguan faal tubuh terjadi secara perlahan oleh tingkat pemaparan yang bersifat komulatif. Baru jika telah terkena pencemaran secara berat baru bisa muncul gangguan kesehatan yang spesifik.

Pada kasus pencemaran udara, keluhan penduduk seperti batuk, pilek, bersin, napas tidak lega, sudah harus menjadi perhatian, tidak perlu menunggu pemeriksaan perubahan anatomi dan faal paru seperti obstructive bronchitis emfisema paru, atau kanker paru, yang merupakan status terminal dari gangguan sistem pernapasan. Pada kasus pencemaran air, masalah gejala kesehatan ini relatif lebih sulit karena gejalanya memang semakin non-spesifik. Untuk pencemaran logam berat sering perlu melakukan pemeriksaan kadar logam di darah dan urine sebelum menunggu datangnya gejala khas keracunan logam berat yang bersifat terminal. Gejala umum dari gangguan pencernaan seperti rasa mual, muntah pusing, dan diare dapat pula dijadikan ukuran gangguan kesehatan oleh pencemaran air jika menunjukkan perbedaan prevalensi gangguan yang mencolok dan tidak ditemukan sumber-sumber penyebab lain dari gangguan tersebut. Keseluruhan indikator kesehatan tersebut dapat dikategorikan sebagai environmental related symptom/disease.

Gangguan kesehatan dapat diamati melalui:

Ø Anamnesa / wawancara

Ø Pemeriksaan fisik-diagnostik

Ø Pemeriksaan laboratorium

Ø Pemeriksaan lain (antara lain Rontgen, tes alergi, faal paru).

Faktor dose-response relationship dari epidemiologi lingkungan juga perlu menjadi pertimbangan penting dalam penyidikan dampak kesehatan dari suatu proses pencemaran lingkungan. Sekarang masalah pencemaran memperoleh banyak perhatian umumnya disebabkan oleh bahan pencemar non-biologis. Gangguan kesehatan oleh pencemaran seperti ini memiliki ciri dose-response relationship yang sangat kuat, artinya penduduk dengan pemaparan yang lebih tinggi akan menunjukkkan prevalensi gangguan kesehatan yang lebih besar. Oleh karena itu, dalam penyidikan nantinya perlu diupayakan agar dilakukan pengamatan terhadap minimal tiga golongan penduduk, yakni mereka yang terpapar pencemaran secara intensif, terpapar ringan, dan mereka yang tidak mengalami (terkena pencemaran lingkungan yang diselidiki). Prevalensi keluhan ataau gangguan kesehatan yang berbeda secara jelas dari ketiga golongan penduduk tersebut pada urutang yang benar akan sangat meyakinkan adanya faktor pencemaran sebagai penyebab terjadinya gangguaan kesehatan itu.

B. AIR YANG TERCEMAR

Air Minum Dan Kesehatan Masyarakat

Masalah air baku untuk industri air minum menjadi sangat penting karena kualitas air minum yang dipengaruhi oleh kualitas air baku tersebut akan berpengaruh pada kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya. Air minum memerlukan persyaratan yang ketat karena air minum itu langsung berhubungan dengan proses biologis tubuh yang menentukan kualitas kehidupan manusia. Lebih dari 70% tubuh terdiri dari air dan lebih dari 90% proses biokimiawi tubuh memerlukan air sebagai mediumnya. Bila air minum manusia itu berkualitas tidak baik, maka jelas akan mengganggu proses biokimiawi tubuh dan mengakibatkan gangguan fungsionalnya.

Air minum yang masuk ke dalam tubuh manusia itu selain perlu cukup jumlahnya juga harus sesuai dengan kebutuhan proses hayati. Oleh karena itu, diperlukan 4 persyaratan pokok, yakni persyaratan biologis, fisik, kimiawi, dan radiologis. Persyaratan biologis berarti air minum itu tidak boleh mengandung mikroorganisme yang nantinya menjadi infiltran tubuh manusia. Mikroorganisme itu dapat dibagi dalam 4 grup, yakni parasit seperti amuba dan telur cacing; jamur, bakteri seperti kuman tipus dan disentri, dan virus seperti virus hepatitis dan virus diare. Pengendalian air minum hanya dapat dilakukan terhadap kuman dan parasit sehingga sesungguhnya persyaratan air minum dari aspek biologis ini masih harus diperketat lagi. Persyaratan fisik air minum terdiri dari kondisi fisik air pada umumnya, yakni derajat keasaman, suhu, kejernihan, warna, dan bau. Apek fisik ini sesungguhnya selain penting untuk aspek kesehatan langsung yang terkait dengan kualitas fisik seperti suhu dan keasaman juga penting untuk menjadi indikator tidak langsung pada persyaratan biologis dan kimiawi, seperti warna air dan bau. Air yang berubah warna dan bau memberi indikasi bahwa air itu mengandung bahan biologis dan kimiawi yang dapat mengganggu kesehatan peminumnya. Persyaratan kimiawi menjadi penting karena banyak sekali kndungan kimiawi air yang memberi akibat buruk pada kesehatan karena tidak sesuai dengan proses biokimiawi tubuh. Air yagn mengandung nitrat tinggi, misalnya, mengakibatkan gangguan zat merah darah yang disebut methemoglobin dan membuat transportasi oksigen tubuh terhalang. Kandungan flour yang terlalu rendah atau tinggi mengakibatkan kerusakan gigi. Begitu pula kebutuhan akan bahan-bahan mikronutrien yang berlebihan dapat menjadi gangguan pada faal tubuh dan berubah menjadi racun, seperti arsenik dan berbagai macam logam berat, khususnya air raksa, timah hitam, dan kadmium. Belum lagi bahan racun yang memang tidak diperlukan badan seperti pestisida harus dihindarkan ada di dalam air minum manusia. Persyaratan radiologis sering juga dimasukkan sebagai bagian persyaratan fisik, namun sering dipisahkan karena jenis pemeriksaannya sangat berbeda, dan pada wilayah tertentu menjadi sangat serius seperti disekitar reaktor nuklir.

Keempat persyaratan air minum di atas yang paling mudah diatasi adalah masalah biologisnya karena umumnya mikroorganisme akan mati bila air dididihkan. Oleh karena itu, walau air sedikit tercemari kuman, virus, jamur, dan parasit, namun dengan merebus sampai mendidih dahulu, didinginkan dan diendapkan kemudian diminum sering sudah mengatasi masalah gangguan oleh pencemaran biologis itu. Di negara maju air minum benar-benar dipertahankan standar biologisnya sehingga layak diminum, tanpa merebusnya.

Problem yang lebih serius di negara berkembang yang sudah mengajarkan penduduk untuk merebus air minum dahulu, adalah masalah kimiawi dan radiologis ini. Pencemaran air baku untuk industri air minum yang tercemar berat oleh bahan beracun berbahaya yang pekat bahan kimia, dan gangguan fisik (dalam kasus tertentu juga harus diwapadai aspek radiologisnya) jelas merupakan problem yang sulit diatasi oleh penduduk dengan merebusnya. Seperti kasus detergen, logam berat, pestisida dan nitrat tertentu tidak dapat diatasi dengan merebus air minum itu, padahal bahan kimiawi tersebut tidak kalah berbahayanya dari bahan biologis, apalagi dalam dimensi panjang sebagai efek kronis. Kasus keruntuhan Romawi oleh pembodohan pensusuk karena air minumnya mengandung kadar timah hitam tinggi merupakan pelajaran sejarah yang harus diperhatikan dalam masalah air minum tersebut. Memang jarang terjadi keracunan akut oleh pencemaran kimia atau fisik air minum karena kondisi yang membuat air minum meracuni secara akut ini akan membuat air minum sering tertolak oleh peminum dengan rasa mual yang terasa waktu meminumnya. Oleh karena itu, untuk masalah persyaratan air minum dari sisi kimiawi itu harus lebih diperhatikan dampak kesehatan kronis yang akan dialami konsumen bila kandungan kimiawinya melebihi ambang batas.

Kualitas Air Baku Dan Air Minum

Kualitas air minum sangat erat berkaitan dengan kualitas air bakunya. Umumnya air baku dari air tanah kualitasnya sudah cukup baik sehingga tidak sulit menjadikan air minum yang memenuhi persyaratan kesehatan. Kasus air minum dari perusahan air minum kemasan merupakan contoh yang ada.

Pada sisi lain air minum dalam jumlah banyak harus mengambil dari sumber air yang pun besar pula. Ini sering terjadi di kota besar dan akhirnya memilih air sungai yang ada di dekatnya sebagai sumber air baku. Kualitas air sungai sebagai air permukaan jelas berbeda dengan air sumber dan air tanah dalam sehingga perlu proses yang lebih banyak. Pada awalnya proses ini tidak begitu berat karena air sungai hanya terkait dengan limbah rumah tangga yang jumlahnya pun terbatas sehingga proses penjernihannya pun relatif sederhan. Proses itu umumnya dimulai dengan penyaringan pada mulut industri air minum, pengendapan, dan mempercepat proses penjernihan air, kemudian dilanjutkan dengan penambahan klorin untuk membunuh mikroorganisme. Di zaman penjajahan proses itu telah dimulai.

Nampaknya teknologi pengolahan air minum dari air baku sungai tidak banyak mengalami perubahan sampai sekarang, mungkin hanya dengan menambah proses aerasi bila sewaktu-waktu dirasakan perlu. Tentu saja proses seperti ini hanya efektif bila untuk menangani masalah air baku yang tercemar limbah domestik seperti sisa biologis yang terbatas kepekatannya, namun jelas akan menjadi sangat berbeda biola sudah menemui air baku yang lebih buruk kualitasnya oleh limbah industri yang pekat dengan macam bahan kimiawi yang luas. Jelas proses pengelolaan air minum melalui teknologi seperti itu tidak akan mampu menetralisir kadar bahan kimia sampai cukup baik untuk diminum, seperti menetralisir detergen, pestisida logam berat, arsenik, dan semacamnya. Oleh karena itu, perlu selalu diwapadai perubahan kimiawi dari air baku yang diproses oleh industri air minum seperti itu.

C. MAKANAN YANG TERCEMAR

Manfaat Dan Potensi Bahaya Makanan

Makanan dan minuman adalah kebutuhan hayati bagi manusia. Dengan makanan dan minuman manusia akan memperoleh energi yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya melalui proses metabolisme yang kompleks dari tingkatan organ sampai ke tingkatan sekuler. Makanan umumnya diharapkan berperan :

ü Memberikan tenaga kepada tubuh

ü Membangun jaringan-jaringan baru, memelihara dan memperbaiki yang tua dan rusak dan

ü Mengatur proses biologis atau faali dalam tubuh

Pada sisi lain makanan dan minuman juga mengandung potensi yang membahayakan karena bahan yang bersifat merugikan tubuh manusia sering dapat memasuki sisitem biologis melalui media makanan dan minuman ini. Bahan tersebut dapat bersifat bahan hidup ataupun bahan mati. Berkenaan dengan peranannya dalam menimbulkan penyakit, ada tiga kemungkinan proses yang dapat terjadi yakni:

1. Secara alamiah makanan sudah mengandung bahan-bahan beracun yang ikut masuk ke tubuh sewaktu dimakan, misalnya sianida yang berada dalam jenis ketelah pohon, dan aflatoksin dalam kacang tanah.

2. Makanan dan minuman terkontaminasi kuman penyakit dan menjadi media perkembangbiakan sehingga sewaktu dikonsumsi akan ikut tertelan sejumlah besar kuman bersangkutan, yang menyebabkan infeksi serius pada penderita dan,

3. Bahan berbahaya masuk kedalam makanan karena secara tidak disadari akan memberi efek negatif, sedangkan efek positifnya dianggap “perlu” untuk dicampurkan kedalam makanan.

Melihat potensi makanan dan minuman dalam mengganggu kesehatan ini, telah lama berkembang dalam dunia kesehatan masyarakat upaya mengurangi dampak negatif dari makanan dan minuman dan dikenal sebagai sanitasi makanan (foodt hygiene). Sanitasi makanan tersebut meliputi berbagai bentuk upaya seperti: keamanan makanan dan minuman yang disediakan; hygieni perorangan dan praktek-pratek penanganan makanan oleh karyawan yang bersangkutan; keamanan terhadap penyediaan air; pengelolaan pembuangan air limbah dan kotoran yang terkait dengan makanan dan minuman; perlindungan makanan terhadap kontaminasi selama proses pengelolaan; penyajian/peragaan dan penyimpanannya; pencucian, kebersihan, dan penyimpanan alat-alat / perlengkapan. Tujuan dasar dari sanitasi makanan meliputi:

a) Menjamin keamanan untuk mencegah konsumen dari penyakit;

b) Menjaga kemurnian makanan dan mencegah pemalsuan makanan atau penjualan makanan yang merugikan makanan;

c) Mengurangi pemborosan makanan;

Diantara upaya sanitasi makanan diatas seringkali masalah pemalsuan makananlah yang paling sulit diatasi karena menyangkut aspek kesengajaan. Berbagai cara pemalsuan yang sering dilakukan adalah : memalsu makanan yang telah membusuk seperti menambahkan cuka pada ikan yang busuk’;memberikan kesegaran palsu pada bahan makanan yang telah lama seperti menaburkan zat warna pada daging; mencampur dengan bahan yang mirip untuk mendapat keuntungan lebih besar, seperti menambah bubuk jagung pada serbuk kopi atau menambah zat pati pada susu tepung bayi; dan menutupi sesuatu yang tidak dikehendaki konsumen pada bahan makanan tertentu seperti menambah bahan dari babi untuk makanan yang dijual pada golongan muslim tanpa keterangan yang jujur.

Berbagai penyakit telah dikenal sebagai penyakit yang ditularkan melalui makanan dan minuman dan dikenal sebagai food borne diseases. Disini masalah yang ditonjolkan adalah penyakit infeksi yang disebarluaskan melalui media makanan dan minuman. Beberapa istilah teknis yang sering dipakai adalah food infeksion (infeksi oleh makanan) artinya gejala penyakit yang timbul karena mikroorganisme masuk dan berkembangbiak dalam tubuh melalui bahan makanan. Infeksi olek parasit seperti cacing pita dalam berbagai jenisnya (taeniasis), kuman patogen salmonela, disentri basil dan amubiasis atau oleh virus seperti hepatitis B yang sudah banyak dipahami. Selain itu dikenal pula istilah food poisaning (keracunan makanan) yang diartikan sebagai penyakit yang ditimbulkan oleh zat-zat beracun (toksin) yang sudah ada di dalam makanan oleh produk kuman, seperti enterotoksin dari staphylococus dan eksotoksin oleh closteridium botulinum yang disebut sebagai keracunan botulinus. Selanjutnya ada pula kelompok food intoxication (intoksikasi makanan) yakni gejala sakit yang timbul akibat masuknya racun kimiawi dalam berbagai bentuknya yang tercampur dalam makanan, seperti bahan nitrit dan senyawa organofosfor.

Upaya mengatasi berbagai kesalahan dalam menyiapkan makanan dan minuman, telah pula dikembangkan berbagai ukuran baku yang menyangkut persyaratan makanan dan minuman yang dianggap layak dan tidak layak untuk dipasarkan. Syarat makanan yang layak dipasarkan atau layak dimakan adalah:

1. cukup dalam hal derajat kematangannya,

2. bebas dari pencemaran pada setiap tahapan produksi sampai penjualannya

3. tidak mengalami perubahan-perubahan fisik, kimiawi, ataupun biologis yang tidak dikehendaki sebagai akibat pengaruh enzim, aktivitas mikroba, binatang berbahaya seperti hewan pengerat, serangga, parasit, dan kerusakan karena tekanan, pembekuan, pemanasan atau pengeringan, dan

4. bebas dari mikroorganisme dan parasit yang menimbulkan penyakit yang dihantarkan makanan(food-borne illness).

Sedangkan kriteria makanan yang dianggap tidak memenuhi syarat, dan karena itu tidak boleh dipasarkan adalah makanan yang:

a) mengandung racun atau zat-zat lain yang membahayakan kesehatan.

b) ada bahan ditambahkan yang bersifat pemalsuan.

c) terjadi kerusakan yang menggangu kualitas makanan atau telah melampaui masa berlakunya (kadarluarsa).

d) bahan makanan tersebut berasal dari hewan yang menderita pennyakit, atau telah amti karena sakit.

e) dalam proses pengelolaan bahan makanan tersebut tidak dipenuhi syarat higiene dan sanitasi yang telah dianjurkan.

Dalam sanitasi makanan, termasuk pula dua pengawasan penting yakni sanitasi susu dan sanitasi daging. Kedua aspek ini memperoleh perhatian khusus karena secara potensial mampu menyebarkan infeksi lebih tinggi karena merupakn media yang baik bagi bakteri untuk melakukan proliferasi.

Sebagai prinsip sanitasi susu telah ditetapkan dua syarat yang harus dipenuhi, yakni susu tersebut haruslah tidak berbahaya untuk kesehatan (safe milk) dan susu tersebut bersih (clean milk).untuk memenuhi dua kriteria itu dilakukan pengawasan terhadap beberapa aspek yang terkait dengan produksi dan penjualan susu, yakni hewan (sapi atau kambing) yang diambil susunya haruslah hewan yang sehat, misalnya tidak mengandung penyakit TBC, brusellosis, atau mastitis; orang yang bekerja pada paerusahaan susu dalam keadaan sehat dan menjaga kebersihan sewaktu bekerja; lingkungan dimana susu diambil dan disimpan serta peralatan yang digunakan selalu dalam keadaan bersih; pengelolaan susu harus terjamin kebersihannya, baik ketika memeras susu, menyimpan, mengangkut atau memasarkannya di botol ataupun kaleng; perlu dilakukan pengetesan bakteriologi, fisik, dan kimiawi sebelum dipasarkan; dan perlu dilakukan pasteurisasi sebelum susu tersebut dikonsumsi.

Dalam hal sanitasi daging perlu diperhatikan tiga hal pokok, yakni hewan potong, rumah potong (abattoir), dan pemasarannya. Hewan potong perlu diperiksa apakh binatang tersebut dalam keadaan sehat atau sakit. Oleh karena itu, perlu dilakukan dua kali pemeriksaan, yaitu pemeriksaan sebelum ternak tersebut dipotong dengan tujuan mendeteksi kelainan yang mungkin diderita ternak dan pemeriksaan setelah ternak dipotong, dimana perlu diperiksa bagian kelenjar, jantung, lidah, alat-alat visera karena organ-organ ini sering dipakai sebagai tempat hidup atau berkembangbiaknya kuman penyakit. Untuk pengecekan apakah daging masih berada dalam keadaan baik atau tidak, ada tiga hal yang harus diperhatikan yakni warna daging, bau, dan konsistensi daging yang dikenal sebagai konsistensi ‘mastis’, bila ditekan terasa agak berdenyut, mempunyai turgor, dan bila dipegang terasa basah kering.

Demikian tadi berbagai upaya pokok perlindungan makanan dan minuman yang selama ini telah banyak dikerjakan dan dibahas dalam dunia kesehatan masyarakat. Namun, rupanya perkembangan baru dalam permasalahan makanan dan minuman ini telah berlangsung cepat sesuai dengan cepatnya pekembangan sains dan teknologi di segala bidang kehidupan.

D. TANAH YANG TERCEMAR

Cacing Sebagai Pencemar Tanah Yang Berbahaya

Pencemaran tanah ayng paling rawan dari tinjauan aspek lingkungan sehat adalah pencemaran oleh cacing yang berbahaya bagi kesehatan penduduk. Bagaimana memahami dan mengendalikan penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah ini, perlu ditinjau dengan pendekatan epidemilogis cacing.

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyebaran suatu penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyebarannya. Oleh karena itu, dengan pendekatan epidemiologis penyakit karena infeksi cacing ini akan dapat dianalisis secara rasional untulk dicarikan bentuk upaya pencegahan dan pemberantasannya. Dengan analisis itu akan dapat diketahui berapa besar peranan kesehatan lingkungan dalam proses penyebaran dan pemberantasan infeksi cacing tersebut.

Kajian epidemiologis suatu penyakit pada umumnya dilakukan dengan mengamati tiga faktor utama yakni agent (penyebab), host(penjamu), dan environment (lingkungan) dari penyakit tersebut. Oleh karena itu untuk analisis infeksi cacing inipun peprlu dilakukan kajian terhadap ketiga faktor tersebut.

Penyebab (agent) infeksi cacing tentulah parasit cacing, yakni jeniis cacing yang dapat merugikan kesehatan manusia. Banyak macam cacing yang hidup di alam ini namun tidak semua jenis itu mampu hidup sebagai parasit di dalam tubuh manusia. Bahkan sebagian besar macam cacing akan mati bila masuk ke tubuh orang namun, beberapa jenis cacing tertentu jika memasuki badan manusia, akan tumbuh subur, berbiak, dan memanfaatkan organ mannusia untuk sumber kehidupannya sehingga menimbulkan gangguan kesehatan. Jenis cacing seperti inilah yang disebut sebagai parasit karena akan dapat menyebabkan penyakit dan disebut sebagai infeksi cacing. Jenis cacing yang dapat menjadi parasit bagi manusia ini dapat dibagi menurut lokasi dimana cacing itu dapat tumbuh dan menyerang jaringan tubuh. Cacing usus adalah cacing yang hidup di usus manusia seperti cacing gelang, cacing kremi, cacing pita, dan cacing tambang. Cacing otot adalah cacing yang hidup di otot manusia seperti cacing trichinella. Cacing hati seperti schistosoma. Cacing filaria hidup subur di kelenjar getah bening manusia dan mengakibatkan penyakit kaki gajah (elephantiasis).

Penjamu (host) bagi infeksi cacing ini tentunya adalah tubuh manusia. Namun selain manusia sendiri, beberapa jenis cacing memerlukan hidup pada badan binatang tertentu untuk melengkapi siklus hidupnya. Siklus hidup cacing dapat berbeda-beda tergantung dari macam cacingnya.

Dengan mengenali siklus hidup cacing maka dapat dipahami bagaimana aspek lingkungan (environment) dari penyakit akibat infeksi cacing tersebut. Untuk cacing gelang dan cacing tambang, misalnya, akan penting sekali faktor tanah tempat telur cacing itu berada. Bagi cacing pita selain kondisi tanah juga penting aspek lingkungan ternak dan proses sanitasi daging babi dan sapi. Bagi infeksi cacing kremi penting sekali diperhatikan kondisi kamar dan tempat tidur, dan kebersihan individu penderita. Untuk cacing perut perlu diperhatikan masalah habitat keong dan kondisi air tempat keong itu berbiak dan menyebarkan sarkarianya. Pada cacing filaria perlu diperhatikan lingkungan yang memungkinkan berkembangbiaknya nyamuk yang mampu menularkan penyakit itu.

E. UDARA YANG TERCEMAR

Kecenderungan Permasalahan Pencemaran Udara

Sumber pencemaran udara pada umumnya dapat berupa sumber titik seperti cerobong asap pabrik, sumber garis seperti lalulintas jalan raya, dan sumber area seperti kompleks industri atau terminal kendaraan bermotor. Penyebaran pencemaran udara setelah keluar dari sumbernya dapat sangat kompleks tergantung pada kondisi iklim di tempat itu, khususnya angin, kelembaban, dan topografi daerahnya. Tidak jarang sumber pencemaran udara berada pada lokasi yang tidak tepat sehingga pencemar udara itu sulit mengalami pengenceran, dan naik ke atmosfir yang lebih tinggi seperti lapisan stratosfer sehingga tetap tinggal di permukaan tanah dan berputar di sekitar sumber pencemar serta memberikan dampak negatif pada penghuni di wilayah tersebut. Lebih banyak industri yang didirikan, maka beban lingkungan udara akan semakin tinggi dan ancaman terhadap kesehatan penduduk disana juga akan semakin besar.

Pencemar udara umumnya dibagi dua bentuk, yakni pencemar udara dalam bentuk partikel yang disebut aerosol, dan pencemar udara dalam bentuk gas yang melarut menjadi satu dengan medium udara pada umumnya. Ditinjau dari pengaruhnya terhadap kesehatan manusia, maka pencemar partikel seperti debu relatif lebih ringan karena tubuh memiliki kemampuan proteksi secara anotomis seperti bulu hidung, lendir di tenggorokan, dan refleks batuk sehingga hanya dubu halus saja yang mampu mencapai rongga paru ( alveoli) yakni yang berdiamter kurang dari 0,2 mikron. Debu itupun umumnya akan berakhir dalam bentuk pengendapan dalam alveoli dan dampaknya relatif ringan, kecuali bagi partikel yang ganas seperti serbuk asbes, atau kapas yang umumnya hanya ada pada lingkungan kerja dan jarang ditemukan pada lingkungan ambien. Sebaliknya pencemar udara dalam bentuk gas, seperti CO, SO2 , NOx langsung mencapai alveoli dan melarut bersama dengan komponen udara lainnya, menembus barier tubuh, terangkut ke darah, dan menyebar luas kedalam tubuh. Itulah sebabnya pencemar udara dalam bentuk gas ini relatif perlu memperoleh perhatian termasuk sumber pencemar yang menghasilkannya seperti kendaraan bermotor, industri kimia, dan sebagainya. Sayangnya perhatian terhadap pencemaran udara masih sering terpancang pada pencemar dalam bentuk aerosol sehingga sering ditemukan hal-hal yang relatif kurang berbahaya.

Dampak Kesehatan Dari Pencemaran Udara

Dengan memahami karakter dari pencemar udara , maka akan dapat diperkirakan dampak kesehatan yaang dapat terjadi pada penduduk yang terkena pencemaran tersebut. Penduduk yang dimaksud disini adalah rakyat pada umumnya yang mendiami daerah yang terkena pencemaran, bukan para pekerja suatu pabrik yang ruang kerjanya tercemar. Pemisahan ini perlu diperhatikan karena dampak kesehatan yang terjadi pada lingkungan ambien umumnya bisa jauh lebih serius karena beberapa faktor, yakni penduduk tersebut:

1) terpapar pencemar terus-menerus;

2) memiliki komposisi umur yang bervariasi, termasuk disana banyak golongan umur rentan seperti bayi dan orang usia lanjut;

3) tidak memperoleh perawatan kesehatan khusus seperti check-up kesehatan rutin seperti yang diberikan pada para pekerja pabrik ; dan

4) Tidak memperoleh imbalan gaji seperti yang diterima oleh para pekerja industri.

Sayangnya perhatian terhadap pencemaran udara ini masih sering ditekankan pada para pekerja pabrik seperti dengan program keselamatan kerja (hiperkes), dan kurang memperhatikan penduduk diluar industri yang tercemar, padahal jumlah mereka jauh lebih besar dan kualitasnya relatif lebih lemah.

Dampak kesehatan dari pencemaran udara dapat dibagi dalam tujuh macam bentuk, yakni reaksi iritasi, keradangan, sesak, alergi, mutasi sseluler, karsinogenesis, dan teratogenesis. SO2 di udara akan mudah berubah menjadi H2SO4 yang iritatif, menimbulkan radang, bahkan dilaporkan mampu memberi pengaruh teratogenesis. CO di udara akan mengikat hemoglobin dan menyebabkan reaksi sesak/ asfiksi. Hidrokarbon yang keluar dari mesin diesel akan mudah terserap tubuh dan menimbulkan reaksi alergi. Timah hitam (Pb) di udara dilaporkan dapat mengakibatkan mutasi sel, uap bensin dapat mengakibatkan timbulnya kanker dalam tubuh. Dampak kesehatan di atas dapat dideteksi diberbagai bagian tubuh, mulai dari tempat asal masuknaya bahan pencemar seperti saluran pernapasan seperti hidung (bersin, pilek), bronkus (batuk kronis), paru-paru (gangguan faalnya), ataupun di bagian lain tubuh seperti alergi, kelainan janin, kanker di bagian lain tubuh dimana pencemar itu bereaksi dengan tubuh yang peka. Oleh karena itu, dampak pencemaran udara ini sesungguhnya sangat kompleks, bersifat kronis, dan sering tidak khas, kecuali sudah dalam keadaan berat sehingga diabaikan oleh pakar lingkungan.

Kondisi pencemaran udara di masa kini umumnya berjalan meningkat secara perlahan, danjarang terjadi perubahan yang drastis, kecuali jika ada kecelakaan. Oleh karena itu sangatlah tidak tepat jika dampak kesehatan dari pencemaran udara itu diukur dengan adanya kejadian-kejadian akut seperti kematian yang mendadak dari banyak penduduk yang keracunan, atau timbulnya penyakit akut yang menggelisahkan penduduk. Tolak ukur dari pencemaran udar semacam itu tidak lagi sesuai dengan kemajuan sains teknologi seperti sekarang (obsolete). Kita tidak dapat menunggu adanya laporan kejadian akut seperti di atas baru menengok adanya dampak kesehatan dari pencemaran udara sehingga akan menjadi sangat terlambat karena proses yang berlangsung kronis yang merugikan kepentingan penduduk telah lama berlangsung. Sayangnya perhatian akan dampak pencemaran kesehatan ini masih lemah sekali mungkin oleh kepentingan sektor lain (misalnya ekonomi) sehingga laporan-laporan kematian akut atau epidemi penyakit akut sering diabaikan atau bahkan ditutupi. Sungguh sangatlah ironis bila dalam proses pembangunan masih diabaikan kepentingan rakyat banyak yang terkena dampak pencemaran udara ini.

biokimia

A. Gliserofosfolipid

Gliserofosfolipid merupakan golongan senyawa lipid dan merupakan bagian dari membran sel makhluk hidup; bersama dengan protein, glikolipid dan kolesterol. Fosfolipid adalah lipid yang mengandung gugus ester fosfat. Disebut juga FOSFATIDAT : gliserida yg mengandung fosfor dalam bentuk ester asam fosfat. Termasuk derivat asam α fosfatidat (kolin, etanolamina, serin, inositol, fosfatidilkolin/lesitin, fosfatidiletanolamina, fosfatidilserin, fosfatidilinositol). Terdapat dalam sel tumbuhan (kedelai), hewan dan manusia (telur, otak, hati, ginjal, pankreas, paru-paru, jantung).

Glisero fosfolipid

a. Asam fosfatidat dan fosfatidilgliserol

Penting sebagai perantara dalam sintesis triasilgliserol dan fosfolipid, ditemukan sedikit dalam jaringan

b. Fosfatidilkolin (lesitin)

Lesitin mengandung asam lemak, gliserol, asam fosfat dan kolin. Lesitin tersebar luas dalam sel-sel tubuh dan mempunyai tugas metabolik dan struktur misal dalam membran.

Dipalmitil lesitin adalah zat yang sangat efektif untuk mencegah perlengketan permukaan dalam paru-paru yang disebabkan tegangan permukaan. Tidak adanya dipalmitil lesitin pada paru-paru bayi prematur menyebabkan gangguan pernafasan.

c. Fosfatidiletanolamin (sefalin)

Sefalin berbeda dari lesitin hanya pada penggantian kolin oleh etanolamin.

d. Fosfatidilinositol

e. Fosfatidilserin

Fosfatidilserin mengandung asam amino serin, sebagai pengganti etanolamin.

f. Lisofosfolipid

Adalah fosfoasilgliserol yang mengandung hanya satu radikal asil, misalnya lisolesitin.

g. Plasmalogen

Senyawa ini merupakan 10% fosfolipid otak dan otot. Secara struktural plasmalogen menyamai fosfatidiletanolamin tetapi mempunyai ikatan eter pada posisi karbon C1 sebagai pengganti ikatan ester. Radikal alkil merupakan alkohol tidak jenuh.

Bioseintesis

Bioseintesis fosfogliserol: senyawa-senyawa fosfolipid ini bisa disintesis dari fosfadidat, mis. Fosfatidilinositol, atau dari 1,2-diasilgliserol, mis fosfatidilkolin dan fosfatidiletanolamin. Dalam sintesis fosfatidiletanolamin. Dalam sintesis fosfatidinositol, senyawa sitidin trifosfat (CTP), yaitu senyawa fosfat energi-tinggi dari ATP, bereaksi dengan fosfatidat untuk membentuk sitidin-difosfat-diasilgliserol. Akhirnya, senyawa ini bereaksi dengan inositol, dengan dikatalis oleh enzim CDP-diasilgliserol inositol transferase, untuk membentuk fosfatidilinositol. Melalui fosforilasi berurutan fosfatidilnositol.mula-mula ditransformasikan menjadi fosfatidilnositol 4-fosfat dan kemudian menjadi fosfatidilnositol 4,5-bifosfat. Senyawa terakhir kemudian dipecah menjadi diasilgliserol dan inositol trifosfat oleh hormon-hormon yang mengikat Ca2+ , misalnya vasopresin.

Biosintesis fosfolipid gliserol eter: senyawa diasilgliserol plasmalogenik merupakan slah satu senyawa pada posisi 1 (atau2) mempunyai residu alkenil yang mengandung ikatan vinil eter aldehidrogenik. Dihidroksiaseton fosfat merupakan prazat moietas gliserol. Senyawa ini bergabung dengan asetil KoA menjadi 1-asildihidroksiaseton fosfat. reaksi pertukaran berlangsun diantara gugus asil dan alkohol rantai panjang, sehingga 1-alkildihidroksiasetonfosfat diubah menjadi 1-alkilgliserol 3-fosfat yang dihasilkan dihidrolisis menjadi derivat gliserol bebas. senyawa plasmalogen dibentuk melalui desaturasi derivat analog 3-fosfoetanolamin. Sebagian besar fosfolipid dalam mitokondria terdiri atas senyawa plasmalogen.

Fosfolipid memiliki kerangka gliserol dan 2 gugus asil. Pada posisi ketiga dari kerangka gliserol di tempati oleh gugus fosfat yang terikat pada amino alkohol.

Molekul fosfolipid dapat dipandang terdiri dari dua bagian, yaitu kepala dan ekor. Bagian kepala memiliki muatan positif dan negatif serta bagian ekor tanpa muatan. Bagian kepala karena bermuatan bersifat hidrofilik atau larut dalam air, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik atau tidak larut dalam air. Fosfolipid digolongkan sebagai lipid amfipatik.

Fungsi dari fosfolipid antara lain sebagai bahan penyusun membran sel. Beberapa fungsi biologik lainnya antara lain adalah sebagai surfaktan paru-paru yang mencegah perlekatan dinding alveoli paru-paru sewaktu ekspirasi.

Termasuk derivat asam α fosfatidat (kolin, etanolamina, serin, inositol, fosfatidilkolin/lesitin, fosfatidiletanolamina, fosfatidilserin, fosfatidilinositol)

Terdapat dalam sel tumbuhan (kedelai), hewan dan manusia (telur, otak, hati, ginjal, pankreas, paru-paru, jantung)


Katabolisme Fosfolipid

Katabolisme fosfolipid terjadi melalu serangkaian reaksi yang dikatalis oleh berbagai enzim. Enzim fosfolipase A1 mengkatalis pemutusan asam lemak yang terikat pada atom C1 dari gliserol. Katalis fosfolipase A2 membebaskan asam lemak yang terikat pada atom C2. Enzim fosfolipid C melepaskan ikatan gliserol dengan fosfat. Dan fosfolipase D membebaskan etanolamin,kolin, serin atau inositol dari suatu fosfolipid sehingga terbentuk fosfotidat.

Anabolisme Fosfolipid

Jenis-jenis fosfolipid terbentuk dari reaksi yang berbeda-beda. Fosfotidikolin terbentuk melalui reaksi antara 1,2 gliserida dengan sitidindifosfat-kolin (CDP-kolin). Sedangkan fosfotidiletanolamin terbentuk dari reaksi antara 1,2 digliserida dan sitidindifosfat-etanolamin (CDP-etanolamin). CDp etanolamin dapat bereaksi dengan 1,2 digliserida membentuk fosfatidil etanolamin. Reaksi ini dikatalis oleh fosfoetanolamin transferase. Sementara reaksi antara CDP kolin dengan 1,2 digliserida menggunakan katalis fosfokolin transferase dapat membentuk molekul fosfolipid jenis fosfstidil kolin.

Lesitin

Lesitin biasanya digunakan sebagai nama lain untuk fosfatidilkolin, suatu fosfolipid yang merupakan komponen utama fraksi fosfatida yang dapat diisolasi dari kuning telur (dalam bahasa Yunani lekithos - λεκιθος) atau kacang kedelai yang diekstraksi baik secara mekanik maupun kimiawi menggunakan heksana.

Dalam aplikasinya, lesitin berada dalam kuning telur dan paling sering digunakan sebagai agen emulsifier yang dapat mencampur minyak dan air, seperti pada mayones. Hal tersebut dapat terjadi karena lecithin mempunyai kepala yang bersifat hidrofilik dan ekor yang bersifat hidrofobik.

Lesitin pada telur didominasi oleh kandungan fosfatidilkolin yang tinggi, gliserolfosfolipid, rantai panjang asam lemak tak jenuh, arachidonic acid (AA), dan kandungan DHA yang tidak terdapat pada sumber lesitin lainya (seperti kacang-kacangan). Lesitin secara komersil bisa diperoleh dengan kemurnian tinggi untuk aditif pangan dan tujuan medis. Selain itu, lesitin juga diketahui dapat membantu stabilitas dari mayones serta membuat mayones terlihat lebih tebal.

B. Sfingolipid

Sfingolipid dapat ditemukan di hampir seluruh jaringan manusia. Konsentrasinya yang tertinggi walaupun demikian terdapat di jaringan saraf sistem saraf pusat, khususnya di zat putih di otak. Termasuk derivat sfingosin atau mempunyai struktur yg mirip.

Sfingolipid dapat dibagi menjadi Sfingomyelin dan Glikosfingolipid.

A. Sfingomyelin

Sfingomyelin adalah satu-satunya dari kelas sfingolipid yang memiliki gugus fosfat dan tidak memiliki struktur gula dalam molekulnya. contoh: Sfingosin dan Ceramid.

Sfingomielin ditemukan dalam jumlah besar dalam otak dan jaringan syaraf. Pada hidrolisis sfingomielin menghasilkan asam lemak, asam fosfat, kolin dan amino alkohol kompleks yaitu sfingosin.Tidak terdapat gliserol. Kombinasi sfingosin dan asam lemak disebut seramida, struktur yang juga ditemukan pada glikolipid.


B. Glikosfingolipid

Glikosfingolipid Yang termasuk glykosfingolipid adalah semua sfingolipid yang memiliki struktur gula atau karbohidrat. Glikosfingolipid paling sedikit dapat dibagi lagi menjadi 4 kelas, yaitu:

Cerebrosid adalah Ceramidmonohexosid atau memiliki satu molekul gula. Yang paling menonol dari kelas ini adalah Galaktocerebrosid dan Glukocerebrosid. Cerebrosid terdapat di bagian saraf akhir dan di membran myelin dari sel saraf

ß- Sulfogalaktocerebrosid adalah salah satu lapisan lemak juga yang terdapat di otak, kurang lebih 15 % dari keseluruhan jumlah lemak di zat putih

Globosid adalah ceramidoligosakarida(memiliki 2 atau lebih molekul gula). Biasanya Galaktosa, Glukosa, atau N-Acetilgalaktosamin. Globosid terdapat di serum, limpa, hati, dan juga sel darah merah. Lactosilceramid terdapat di membran sel darah merah.

Gangliosid adalah glikospingolipid yang memiliki satu atau lebih asam Neuramin. Biasanya ini adalah asam N-Acetilneuramin= NANA, atau lebih terkenal asam sialin. Konzentrasi terbesar terdapat di [sel ganglion] sistem saraf pusat.

Palmitoil KoA berkondensasi untuk membentuk dehidrofiganin, yang akan berubah menjadi sfingosin. Sfingosin merupakan tulang punggung / komponen utama dari pingolipid. Enzim yang mengkatalisis reaksi pembentukan sfingolipid memerlukan piridoksal fosfat, suatu kofaktor utama pada metabolisme asam amino.

Pada semua sfingolipid, gugus amino pada sfingosin mengalami asilasi; suatu asil KoA rantai panjang bereaksi dengan sfingolipid membentuk seramida. Demikian juga gugus hidroksil ujung mengalami subtitusi. Untuk sfingomyelin siubtitusinya ialah fosforikolin, yang berasal dari fosfatidil kolin.

Seramida merupakan derivate sfingosin yang mengandung gugus asil dari asam lemak. Gugus ini terikat pada gugus amino dalam bentuk amida. Senyawa-senyawa yang termasuk kedalam kelompok seramida dibedakan berdasarkan asam lemak pada molekulnya. Pada hewan dan tumbuhan seramida hanya terdapat pada jaringan dalam jumlah kecil.

Pembentukan seramida

Sfingolipid yang lainnya adalah spingomyelin, spingomyelin adalah sfingolipid yang paling sederhana, paling banyak dijumpai, dan merupakan satu-satunya sfingolipid yang mempunyai fosfat. Karena senyawa ini memiliki fosfat, maka senyawa ini dapat juga digolongkan sebagai fosfolipid. Sfingomyelin terdapat dalam otak dan jaringan saraf sebagai bagian dari selubung myelin. Di otak juga terdapat sfingomyelin yang mengandung sfingosin dengan beberapa ikatan rangkap. Singolipid (spingomyelin) berperan sebagai kerangka penyusun membran sel serta banyak fungsi lain di dalam sel. Apabila masukan makanan berkurang seperti anak malnutrisi, kandungan spingomielin dalam otaknya akan menjadi rendah. Namun, keadaan ini dapat diatasi dengan memberikan diet yang mengandung spingomielin.

Pembentukan sfingomielin

Kebutuhan tubuh akan spingomielin dipenuhi dari makanan yang dimakan sehari-hari serta dari hasil sintesis spingomielin dalam tubuh. Berbeda dengan spingolipid lainnya, spingomyelin hanya terdapat pada membran sel hewan, sedangkan sayur dan buah-buahan lebih banyak mengandung glikolipid.

Sekitar 0,1-1,0 persen dari total lemak susu sapi mengandung fosfolipid dan 30 persen di antaranya terdiri dari spingomielin. Kandungan spingomielin dalam susu sapi ini tidak menetap tergantung kepada musim dan masa laktasi dari sapi tersebut. Kandungan spingomielin dalam ASI juga bervariasi. Selain spingomielin, ASI juga mengandung fosfolipid, yang merupakan sumber fosforilkolin dalam sintesis spingomielin.

Disamping kelompok seramida dan sfingomyelin ada golongan sfingolipid yang mengandung karbohidrat. Kelompok ini dinamakan glikolipid. Contohnya adalah serebrosida.Serebrosida berbeda dengan sfingomyelin dalam hal mengandung fasfat, serebrosida juga tidak memiliki muatanm listrik karena gugus kepalanya bersifat netral, serebrosida kebanyakan terdapat dalam jaringan saraf. Dengan hidrolisis serebrosida akan menghasilkan molekul sfingosin, asam lemak, dan heksosa. Kebanyakan galaktosa dan kadang-kadang glukosa.

Gangliosida adalah sfingolipid yang paling kompleks, satu rantai olisakarida dengan paling sedikit satu gula yang bersifat asam yang terikat pada seramida. Gula yang bersifat asam ialah N-asetilneuraminat atau N-glikolilneuraminat. Gula-gula yang bersifat asam ini disebut asam asilat.

Konsentrasi gangliosida paling tinggi ditemukan pada system saraf, terutama pada substansi grisea. Jumlahnya 60% dari jumlah lipid yang ditemukan di substansi grisea. Pemecahan gangliosida di dalam lisosom adalah dengan pengeluaran secara berurutan gula-gula terminalnya.

Gangguan pada pemecahan gangliosida ini dapat menyebabkan akibat klinis yang serius; dapat menyebabkan penyakit Tay-sachs. Kandungan gangliosida dalam jaringan otak bayi penderita penyakit Tay-sachs sangat meningkat. Kadar gangliosida GM2 bebrapa kali lebih tinggi daripada normal, disebabkan karena pengeluaran residu N-asetilgalaktosmin ujung terjadinya sangat lambat bahkan tidak berlangsung. Enzim yang tidak ada atau mengalami defisiensi pada penyakit ini adalah enzim β-N-asetilheksosaminidase yang spesifik. Penyakit Tay-sachs ini merupakan pennyakit. menurun dan bersifat resesif otosomal.

C. Penyakit Krabbe

Krabbe adalah kelainan degeneratif yang mempengaruhi sistem saraf. Hal ini disebabkan oleh kekurangan (defisiensi) dari sebuah enzim yang disebut galactosylceramidase. Kekurangan enzim ini mengganggu pertumbuhan dan pemeliharaan myelin, pelindung yang menutupi sekitar sel-sel saraf tertentu yang menjamin pengiriman cepat impuls saraf. Krabbe merupakan bagian dari kelompok yang dikenal sebagai gangguan leukodystrophies, yang berakibat dari hilangnya myelin (demyelination).

Krabbe penyakit adalah progresif, kelainan genetik dari sistem saraf. Penyakit ini diberi nama oleh ahli saraf Denmark Knud Haraldsen Krabbe. Dia adalah orang yang pertama kali mendeskripsikan penyakit ini dalam periode 1913-1916. Penyakit ini juga dikenal dengan nama leukodystrophy sel Globoid. Kondisi ini dapat ditemukan hanya dalam 1 dari 1.000.000 orang.

Ada empat sub jenis penyakit ini, subtipe pertama di mana penyakit dimulai sejak usia 3-6 bulan, tipe II adalah di mana penyakit dapat mengembangkan sedikit kemudian yakni dari 6 bulan sampai 3 tahun dan jenis III adalah Juvenile jenis yang mungkin mulai dari usia 3 tahun sampai 8 tahun dan tipe IV adalah orang dewasa yang dapat mulai usia berapa pun setelah 8 tahun. Kondisi ini dapat membuktikan penyakit mematikan jika dikembangkan pada masa bayi dan anak-anak tersebut mungkin meninggal sebelum usia dua tahun. Tetapi jika penyakit ini dikembangkan kemudian di masa kanak-kanak, maka pasien dapat bertahan hidup lebih lama.

Untuk mengkonfirmasi jika pasien menderita penyakit Krabbe, seseorang dapat melakukan tes darah untuk memeriksa apakah pasien memiliki GALC (galactocerebrosidase) kekurangan. Namun, tidak ada obat atau pun pencegahan untuk kondisi ini. Perawatan yang saat ini digunakan hanya dengan salam untuk mengendalikan gejala, tapi tak ada yang telah ditemukan keluar untuk mengimbangi kekurangan GALC. Penelitian masih terus untuk mencari tahu pengobatan yang efektif untuk penyakit Krabbe.

Penyakit Krabbe juga disebut sebagai sel leukodystrophy atau globoid kekurangan galactosylceramide jarang penyakit degeneratif Warisan yang mempengaruhi sistem saraf pusat.Orang dengan penyakit Krabbe pengalaman biasanya meningkat otot yang menyebabkan otot Spasticity, kecanggungan, miskin keterampilan motorik, masalah penglihatan, kejang dan miskin fungsi pendengaran.

Krabbe penyakit ini dinamai menurut ahli saraf Denmark, Knud Heraldsen Krabbe yang pertama kali melaporkan bayi dengan kondisi ini 1916.Approximately satu di setiap 100.000 bayi yang lahir di Amerika Serikat dan Eropa terpengaruh dengan penyakit ini. Itu mempengaruhi orang-orang dari semua latar belakang etnis.

Krabbe Penyakit ini disebabkan karena cacat GALC gen, yang menyebabkan kekurangan enzim yang disebut galactosylceramidase. Tubuh membutuhkan konstituen ini untuk membuat selubung myelin, material yang mengikat dan melindungi serat. Tanpa itu myelin rusak parah dan menyebabkan degenerasi dari keterampilan motorik. Meskipun sebagian besar orang dengan penyakit Krabbe mengalami gejala sebelum usia enam bulan, beberapa orang mungkin tidak memiliki tanda-tanda dimengerti sampai masa kanak-kanak atau dewasa. Krabbe penyakit ini adalah kelainan genetik yang berarti berjalan dalam keluarga. Untuk mendapatkan gangguan ini, seseorang harus mewarisi cacat GALC salinan gen dari ayahnya atau ibunya.

Saat ini, tidak ada pengobatan khusus penyakit Krabbe. Umumnya, pengobatan untuk gangguan adalah diagnostik dan tambahan. Fisik dan terapi okupasi dapat membantu menjaga otot dan sirkulasi. Selain terapi fisik dapat diberikan obat untuk mengontrol kejang. Beberapa orang telah mengalami transplantasi sumsum tulang pada tahap awal dari penyakit, namun pengobatan ini memiliki risiko. Ilmuwan juga meneliti pada terapi gen sebagai kemungkinan Krabbe pengobatan penyakit. Ini melibatkan penyisipan gen GALC normal ke dalam sel yang terkena bayi. Penelitian ini masih dalam tahap awal dan tidak sedang dilakukan secara klinis.